Selasa, 04 Desember 2012

Belajarlah dari filosofi 'upil' semasa kanak-kanak

Ketika sekelompok permainan anak-anak seusia balita sedang bermain
Ingatkah kaka bahwa ada seorang yang mengupil?
ada, dan pasti ada!
Lalu apa yang ia lakukan setelahnya?

Ada kala ia langsung membuang upil tersebut dan membersihkan dirinya sembari berusaha membuat tak seorangpun tau kejadian itu.
Ada juga kala ia meminta maaf atas sedikit benda jorok yang ia keluarkan, lalu membersihkan diri.
Namun ada pula kala ia justru
memainkan, menolehkan upil ke teman sebayanya, yang benar membuat teman-teman mengutuknya, membesar-besarkan masalah yg sebenarnya hanya sekecil 'upil' tadi.

Meski jujur apa rasa upil itu bagi diri kita sendiri? ketika kita sendiri yang memegangnya, mencium baunya, atau bahkan mencicipi rasanya? Upil tak akan terasa tak enak bila 'dinikmati' sendiri oleh pelakunya, namun akuilah bahwa tak seorangpun menganggap itu hal 'kecil' sekecil bentuk upil itu sendiri.

Ikutilah anak kedua, layaknya setiap kita melakukan sebuah hal 'jorok' atau hal bodoh, ataupun berati kesalahan, janganlah pernah malu untuk meminta maaf, lalu buanglah kesalahan itu, hingga teruskanlah dengan membersihkanlah dirimu dari kesalahan tadi, jangan pernah kotori kembali.

Atau setidaknya tirulah anak pertama, meski tak pernah sempat meminta maaf akan kesalahan yg ia lakukan, setidaknya ia membuang dan membersihkan setiap kesalahan yg ia lakukan, hingga tak ingin mengulanginya lagi.

Tapi anak ketigalah, yang tak pernah menyadari bahwa sekecil dan seindah apapun ukuran kesalahan bagi kita, tak akan pernah orang lain menganggapnya sama, bahkan sebaliknya.

"Meski kecil ataupun mengundang tawa, keburukan tak akan pernah diartikan baik oleh orang lain, berbuat baiklah!"

inspired by : Fikry Abdullah Aziz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar